Setelah menguasai bisnis keuangan dan media, Para Group milik Chairul Tanjung mulai terjun ke penerbangan, perkebunan, gaya hidup, dan hiburan. Modal siapa di balik ekspansi agresif itu?
PADA mulanya Chairul Tanjung hanya seorang dokter gigi lulus an Universitas Indonesia yang banting setir menjadi pengusaha sepatu. Ia bukan saudagar kesohor, bukan pula anak konglomerat ternama. Namanya baru mencuat tatkala ia memiliki Bank Mega pada 1996.
Ketika konglomerat bertumbang an dihantam krisis pada 1998, garis tangan Chairul berubah. Bisnis anak Jakarta ini justru menjulang. Sekarang pria 45 tahun itu menjadi buah bibir di kalangan pengusaha nasional.
Sayap bisnisnya berkembang cepat. Ia bukan lagi cuma memiliki Bank Mega, Bandung Super Mall, serta Trans TV dan Trans-7, melainkan sudah lebih luas. Ia merambah bisnis jasa keuangan, media dan gaya hidup, properti, perkebunan, energi, serta pertambangan. Chairul sangat agresif dan giat mencari peluang baru, menurut Ishadi, bekas orang pemerintah yang kini Direktur Utama Trans TV.
Belum lama ini, Chairul ”menjelma” menjadi distributor produk-produk retail bergengsi di Indonesia. Chairul telah mengakuisisi PT Mahagaya Perdana, distributor merek terkenal seperti Mango, Prada, Escada, Gucci, Hugo Boss, Alfred Dunhill, dan Ettiene Aig ner. Ia akan menantang Mitra Adi Perkasa yang selama ini menjadi penguasa bisnis itu.
Ia juga masuk ke bisnis makanan-minuman dengan membeli lisensi kafe ternama Coffee Bean dan es krim berkelas Baskin-Robbins. ”Dalam setahun banyak sekali perusahaan diakuisisi,” kata seorang karyawan divisi jasa ke uangan grup itu yang mengaku heran dengan pesatnya bisnis bosnya.
Sekarang grup ini sedang menggodok rencana baru prestisius: melebarkan sayap dan menjadi pemain kunci di kawasan Asia. Pada tahap awal, nama induk usaha Grup Para akan diubah jadi Chairul Tanjung Corporation (CT Corp.) agar lebih mudah dikenal. Tahun depan nama baru itu kabarnya diluncurkan.
Bersamaan dengan perubahan nama, beberapa proyek raksasa dimatangkan jajaran petinggi kelompok bisnis ini. Di antaranya membangun maskapai pener bangan, perkebunan seluas 500 ribu hektare, energi listrik, pertambangan, serta pusat hiburan terbesar di Indonesia timur.
Untuk bisnis penerbangan, menurut Chaeral Tanjung, salah satu petinggi di kelompok bisnis ini, pihaknya sedang mempersiapkan keuangan, operasionalisasi, sumber daya manusia, dan keamanannya. ”Pokoknya, kami tak akan tampil seperti maskapai sekarang,” kata adik Chairul tersebut. Maksudnya, ia tak mau hadir sebagai maskapai yang banyak masalah seperti banyak maskapai sekarang ini.
Dengan bendera Trans-Air, mereka membidik segmen khusus, yakni kelas eksekutif. Tarifnya dipatok dua kali lipat lebih mahal dari harga tiket Garuda Indonesia. Misalnya, tiket Garuda Rp 1 juta, maka Trans-Air akan mematok harga Rp 2 juta. ”Itu sesuai dengan layanan berkelas Concorde yang akan ditawarkan,” kata sumber di Grup Para. ”Slogannya, kalau terbang tidak naik Trans-Air, tidak keren gitu deh.”
Di Makassar, Chairul sedang membangun proyek hiburan terpadu. Kawasan wisata bernama Trans Studio Resort Makassar senilai Rp 1 triliun dibangun di lahan seluas 12,7 hektare. Di proyek ini, ia bekerja sama dengan Grup Kalla. Mereka akan menampilkan berbagai atraksi permainan ala Disneyland.
Bukan cuma di Makassar, Chairul mulai menjamah kawasan lain di Sulawesi hingga Kalimantan. Di sana ia mengejar mimpi besar menjadi pemain baru perkebunan—seperti Sinar Mas atau Raja Garuda Mas. Targetnya menguasai 500 ribu hektare dengan investasi tri liunan rupiah. Ia pernah berasumsi, untuk lahan seluas 200 ribu hektare saja, diperlukan dana Rp 5 triliun.
Di belahan bumi Sumatera dan Jawa Barat, bekerja sama dengan PT Pertami na, dua tahun lalu ia berniat membangun tiga pembangkit listrik tenaga panas bumi senilai US$ 1,5 miliar. Sayangnya, sampai sejauh ini kontrak kerja sama itu belum jelas tindak lanjutnya. ”Itu tak batal, tapi masih dijajaki,” kata Ishadi.
Siapa mesin uang di balik investasi raksasa Chairul? Banyak mata melirik pada kedekatannya dengan Anthoni Salim, pemilik Grup Salim yang kesohor itu. Apalagi Chairul memang bekerja sama dengan Grup Salim di sejumlah bisnis, misalnya di perusahaan investasi Singapura, Asia Medic, yang mereka akuisisi tahun lalu.
Chairul memang kelihatan bersama Anthoni Salim ketika bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan visi Indonesia 2030, Maret lalu. Adakah dana Anthoni yang dikelola Chairul selama ini?
Ketika soal sumber dana ekspansi ini dikonfirmasikan kepada Chairul, ia tegas membantahnya. Ia menampik keras sebutan operator Grup Salim. ”Saya bisa berhasil karena kerja keras,” kata Chairul dalam sebuah wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu.
Namun seorang eksekutif Grup Para menyebutkan bahwa Salim sesungguhnya memiliki belasan persen saham Bank Mega. Itu terjadi saat bank ini menawarkan saham perdana tujuh tahun lalu. Tapi peran Salim dalam pengembangan Para ditolak mentah-mentah oleh Ishadi dan Direktur Utama Bank Mega Yungki Setiawan. Menurut mereka, Chairul mudah mendapatkan dana karena bisnisnya berkembang baik. Ada saja institusi keuangan dunia yang menawarkan dana kepada Grup Para, seperti Citigroup dan JP Morgan. ”Chairul dikenal sebagai golden boy atau anak emas,” kata Ishadi. ”Di Singapura saja ia gampang cari dana murah.”
Siapa pun penyokong dana grup ini, yang jelas bisnisnya sudah menggurita. Saking banyaknya aset, menurut Ishadi, Grup Para perlu mengkonsolidasi diri dalam tiga fokus bisnis. Pertama, jasa keuangan, dinaungi oleh Mega Global Finance. Itu mencakup Bank Mega, Bank Syariah Mega, Mega Capital, Mega Insu rance, Mega Life, dan Para Financing.
Kedua, bidang media, gaya hidup, dan hiburan, yang dipayungi Trans Corpora. Ini meliputi Trans TV, Trans-7, Trans Lifestyle, Mahagaya, PT Bara Bali, serta properti seperti Bandung Super Mall dan Batam Indah Investindo. Sedangkan ketiga, CT Global Resources, yang membawahkan perkebunan, energi, dan pertambangan.
Ekspansi usaha ini ditujukan untuk menciptakan sinergi positif. Itu sudah terbukti di Bank Mega, yang sukses mendongkrak pertumbuhan bisnis secara signifikan. Bank ini sepuluh tahun lalu cuma bank kecil beraset ratusan miliar rupiah, tapi sekarang sudah beraset Rp 30 triliun.
Program sinergi juga dijalankan di Bank Mega. Dengan Mega Life dan Mega Capital, misalnya, ia menciptakan produk investasi berbiaya murah, tapi menarik karena berasuransi. Melalui Trans TV, Bank Mega membombardir pemirsa dengan iklan tabungan berhadiah. Sedangkan dengan Mahagaya dan Coffee Bean, mereka memberikan diskon khusus bagi pemilik kartu kredit Bank Mega.
Bahkan bukan cuma dengan sesama anak usaha mereka bermitra. Dengan grup besar lain pun Grup Para menjalin kerja sama. Misalnya dengan Sinar Mas di Mega Life, dengan Gramedia di Trans-7, atau dengan Grup Kalla di Trans-Makassar, juga dengan Grup Salim ”Sekarang ini memang eranya bersinergi jika tak mau tenggelam,” kata Yungki.
Dengan sinergi itu pula Chairul memasang target tinggi bagi semua anak usaha. Bank Mega, kata Yungki, sudah ditargetkan naik peringkat dari posisi ke-12 saat ini menjadi 5 bank teratas nasional sepuluh tahun lagi. Artinya, dengan memperhitungkan sejarah pertumbuhan 10-20 persen, total asetnya diperkirakan menyentuh Rp 200 triliun dalam satu dekade mendatang.
Melihat ambisi besarnya, menurut eksekutif Grup Para, Chairul yang juga Ketua Yayasan Forum Indonesia ini sangat mungkin mewujudkan mimpinya pada 2030, yaitu CT Corp. masuk 30 perusahaan Indonesia di daftar 500 perusahaan besar dunia versi majalah Fortune. ”Jika sudah berniat, ia bertekad mewujudkannya,” kata eksekutif ini.
Asalkan itu dicapai lewat proses bisnis yang sehat, jauh dari kolusi ala Orde Baru, pasti banyak orang ikut bangga.
Selengkapnya...
Rabu, 24 Oktober 2007 | 05.23 | 0 Comments
Kapan Yah Trans Air Mengudara???
Langganan:
Postingan (Atom)