Kota Lachin di Azerbaijan kini menoreh sejarah baru sebagai pusat perhatian regional setelah secara resmi dinobatkan sebagai "Ibu Kota Budaya Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) tahun 2025." Gelar tersebut diumumkan dalam sebuah upacara pembukaan yang berlangsung meriah di tengah lanskap wilayah yang baru saja pulih dari perang dan kehancuran panjang akibat pendudukan Armenia. Menteri Kebudayaan Azerbaijan, Adil Karimli, menegaskan bahwa keputusan ini adalah bentuk solidaritas internasional atas kebangkitan budaya dan ekonomi wilayah-wilayah yang telah dibebaskan.
Penetapan Lachin sebagai ibu kota budaya bukan sekadar simbol, tetapi juga menjadi bagian dari strategi besar pemerintah Azerbaijan dalam membangkitkan kembali identitas nasional dan warisan sejarah yang hancur akibat konflik. Menteri Karimli menekankan bahwa rencana aksi besar-besaran telah disiapkan untuk mendukung program sepanjang tahun ini. Fokusnya mencakup penguatan aktivitas sosial budaya, restorasi cagar budaya, serta penyelenggaraan berbagai festival internasional.
Perwakilan Khusus Presiden Rusia untuk Kerja Sama Budaya Internasional, Mikhail Shvydkoy, secara simbolis menyerahkan sertifikat kehormatan kepada Masim Mammadov, pejabat perwakilan khusus Presiden Azerbaijan di Distrik Lachin. Dalam rangkaian acara, video dokumenter ditayangkan yang menggambarkan kehancuran yang dialami Lachin selama pendudukan, serta progres signifikan pembangunan yang kini sedang berlangsung.
Lachin merupakan kota kedua di wilayah yang dibebaskan yang mendapat kehormatan internasional sebagai pusat budaya. Sebelumnya, pada tahun 2023, kota Shusha dinobatkan sebagai Ibu Kota Budaya Dunia Turkik oleh TURKSOY, mempertegas peran kawasan Karabakh sebagai jantung kebudayaan Azerbaijan pasca-perang. Kini Lachin mengikuti jejak itu, membawa misi baru untuk menjadi etalase budaya Kaukasus Selatan.
Wilayah Lachin, yang memiliki luas sekitar 1.800 kilometer persegi, pernah menjadi titik vital dalam konflik Armenia-Azerbaijan karena menjadi jalur penghubung strategis antara Armenia dan wilayah Karabakh yang diduduki. Armenia menduduki Lachin pada 18 Mei 1992, dan sejak saat itu, Lachin mengalami kerusakan besar-besaran dalam infrastruktur, budaya, serta demografi penduduknya.
Konflik yang berlangsung dari akhir 1980-an hingga 1994 membuat sekitar 20 persen wilayah Azerbaijan diduduki oleh Armenia. Di Lachin sendiri, lebih dari 260 warga sipil tewas, puluhan lainnya menjadi sandera, dan ratusan orang terluka atau kehilangan anggota keluarga. Fasilitas publik seperti sekolah, pusat kesehatan, lembaga kebudayaan, dan kantor pemerintahan dibumihanguskan oleh pasukan pendudukan.
Setelah perang terbaru yang pecah kembali pada 27 September 2020, pasukan Azerbaijan berhasil merebut kembali lebih dari 300 permukiman, termasuk Lachin. Melalui perjanjian trilateral antara Armenia, Azerbaijan, dan Rusia yang ditandatangani pada 10 November 2020, Armenia diwajibkan mengembalikan distrik Aghdam, Kalbajar, dan Lachin kepada Azerbaijan.
Bagian utama distrik Lachin akhirnya dikembalikan pada 1 Desember 2020 setelah 28 tahun diduduki. Namun, kota Lachin serta desa Zabukh dan Sus baru kembali diambil alih secara penuh oleh Azerbaijan pada Agustus 2022. Pemerintah Azerbaijan segera meluncurkan program besar-besaran untuk membangun kembali wilayah tersebut, baik secara infrastruktur maupun sosial budaya.
Presiden Ilham Aliyev bahkan menetapkan 26 Agustus sebagai “Hari Kota Lachin” untuk memperingati momen penting kembalinya kedaulatan penuh atas kota tersebut. Sejak saat itu, proses “Pemulangan Besar” pun dimulai. Warga yang dahulu terusir, termasuk dari kelompok Azeri dan minoritas Kurdi, mulai dipulangkan secara bertahap ke desa dan kota asal mereka.
Pemulangan ini disertai pembangunan rumah baru, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik lainnya. Pemerintah juga menggandeng investor dan mitra internasional untuk membangun infrastruktur ekonomi, termasuk pabrik tekstil dan kawasan wisata. Di saat yang sama, program pelestarian budaya juga digencarkan, dari pemugaran masjid-masjid tua hingga pembukaan museum sejarah Karabakh.
Penetapan Lachin sebagai ibu kota budaya kawasan CIS menjadi semacam konfirmasi atas keberhasilan diplomasi budaya Azerbaijan. Tidak hanya merebut wilayah secara militer, tetapi juga mengukuhkan dominasi simbolik dengan menjadikan daerah bekas konflik sebagai poros budaya regional. Lachin dihadirkan bukan sebagai kota perang, tapi sebagai kota seni.
Namun sejarah Lachin tak bisa dipisahkan dari jejak komunitas Kurdi yang sempat menetap dan bahkan mendeklarasikan “Republik Kurdistan Lachin” pada tahun 1992. Meski entitas tersebut hanya bertahan sebentar, ia menunjukkan bahwa wilayah ini pernah menjadi persimpangan antara identitas Azeri, Armenia, dan Kurdi. Jejak ini masih tersisa dalam catatan sejarah, meski tak lagi terlihat dalam tatanan politik hari ini.
Pemerintah Azerbaijan menyatakan bahwa proses rekonstruksi bersifat inklusif. Tapi kritik tetap ada, terutama dari pihak Armenia dan aktivis HAM yang mempertanyakan sejauh mana hak-hak kultural kelompok selain Azeri dihormati dalam proses ini. Lachin boleh menjadi ibu kota budaya CIS, tapi makna budaya itu sendiri harus mencakup pluralisme yang pernah menghidupi kota ini.
Kota Lachin kini berdiri kembali dengan wajah baru, namun beban sejarah masih menempel erat di setiap batu bangunannya. Ia adalah simbol dari luka dan harapan, kehancuran dan kebangkitan. Gelar ibu kota budaya hanyalah permulaan. Ujian sejati Lachin adalah apakah ia mampu menjelma menjadi ruang bersama bagi semua warisan yang pernah hadir di sana.