Pascaturunnya Bashar al-Assad dari kursi kekuasaan, Suriah menghadapi masa transisi yang penuh ketidakpastian. Kekosongan politik yang sempat terjadi menimbulkan guncangan ekonomi, terutama karena banyak perusahaan kroni rezim lama yang selama ini menguasai sektor vital justru lumpuh dalam sekejap. Dampaknya, pasar dalam negeri mengalami kelangkaan barang, inflasi melesat, dan daya beli rakyat semakin tertekan.
Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar jaringan ekonomi lama masih terikat pada lingkaran keluarga Assad dan kroni bisnisnya. Begitu mereka jatuh, perusahaan yang selama ini bergantung pada perlindungan politik ikut ambruk. Bank-bank swasta yang dikendalikan rezim kehilangan likuiditas, perusahaan konstruksi berhenti beroperasi, dan sektor energi mengalami kelumpuhan parah.
Namun, di tengah kekacauan itu, pemerintahan baru di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa yang terbentuk setelah masa transisi mulai mencari jalan untuk bertahan. Menariknya, justru perusahaan-perusahaan yang berkembang di luar kendali rezim lama muncul sebagai penyelamat ekonomi nasional. Perusahaan yang sukses tumbuh di Idlib di bawah naungan eks struktur ekonomi Salvation Government (SG) dulu dan di Azaz dengan struktur Syrian Interim Government (SIG) menjadi tulang punggung baru bagi perekonomian Suriah.
Di Idlib, perusahaan-perusahaan yang semula diasosiasikan dengan struktur otoritas lokal mulai diposisikan ulang sebagai motor ekonomi nasional. Perusahaan energi, bahan bakar, dan jasa logistik yang pernah dikelola dengan ketat di bawah SG kini diberi ruang legal oleh pemerintahan baru untuk beroperasi di seluruh wilayah Suriah. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pasokan energi dan transportasi tidak lagi tersendat.
Sementara itu, di Azaz dan wilayah utara yang pernah berada di bawah administrasi SIG, sektor manufaktur dan perdagangan lintas perbatasan justru lebih siap menghadapi era baru. Kawasan ini selama bertahun-tahun telah terkoneksi dengan pasar Turki, memungkinkan terbentuknya basis industri kecil-menengah yang relatif stabil. Jaringan distribusi barang dari Azaz menjadi urat nadi dalam menyuplai kebutuhan pokok ke wilayah-wilayah Suriah lainnya.
Kebijakan pemerintahan baru ini memang terlihat pragmatis. Alih-alih membangun kembali perusahaan-perusahaan negara yang terpuruk akibat korupsi rezim lama, mereka lebih memilih mengandalkan entitas yang sudah terbukti bisa bertahan dalam kondisi ekstrem. Dengan demikian, integrasi perusahaan-perusahaan Idlib dan Azaz menjadi bagian dari strategi menyelamatkan ekonomi Suriah yang runtuh.
Langkah ini tidak lepas dari kritik. Sebagian pihak menilai pemerintahan baru seakan memberi legitimasi pada struktur ekonomi yang pernah berafiliasi dengan kelompok oposisi bersenjata. Namun, pihak lain berpendapat bahwa dalam situasi darurat seperti sekarang, yang dibutuhkan adalah keberlangsungan pasokan kebutuhan dasar, bukan perdebatan ideologis.
Bagi rakyat, hasilnya cukup terasa. Harga bahan bakar yang sempat melonjak tajam berhasil ditekan setelah jaringan distribusi Idlib diintegrasikan ke dalam sistem nasional. Demikian juga dengan pasokan gandum dan tepung yang sebelumnya dikuasai kroni rezim lama, kini mulai didistribusikan lebih lancar lewat jalur dagang Azaz.
Keberhasilan ini membuat pemerintahan baru mampu menjaga stabilitas relatif meski belum ada rekonstruksi besar-besaran. Bahkan, kepercayaan publik perlahan mulai tumbuh karena pemerintah dianggap lebih terbuka dan tidak sepenuhnya dikuasai oleh segelintir elit.
Para pengamat menilai bahwa transformasi ekonomi ini merupakan salah satu jalan terpenting agar Suriah tidak kembali ke pola lama, di mana monopoli keluarga Assad menguasai segala sektor. Justru dengan membiarkan perusahaan dari berbagai wilayah berperan, tercipta dinamika ekonomi yang lebih plural.
Pemerintahan baru juga berencana melakukan harmonisasi regulasi agar perusahaan di Idlib dan Azaz bisa beroperasi dalam kerangka hukum nasional. Meski prosesnya masih panjang, inisiatif ini diharapkan dapat menutup celah bagi munculnya monopoli baru.
Di sisi lain, keterlibatan perusahaan-perusahaan ini juga membawa peluang rekonsiliasi nasional. Dengan mengintegrasikan entitas ekonomi dari wilayah yang sebelumnya terbelah secara politik, pemerintahan baru berusaha membangun jembatan kepercayaan antarwilayah.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Tidak semua kelompok menerima kenyataan bahwa perusahaan yang dulu beroperasi di bawah otoritas lokal kini menjadi pemain nasional. Beberapa faksi menilai ini sebagai bentuk kompromi politik yang berlebihan.
Namun, pemerintahan baru bersikeras bahwa langkah ini bukan semata kompromi, melainkan kebutuhan nyata untuk mencegah keruntuhan total ekonomi Suriah. Menurut mereka, tanpa integrasi perusahaan-perusahaan tersebut, rakyatlah yang akan paling menderita.
Kini, roda ekonomi Suriah mulai bergerak dengan wajah baru. Perusahaan yang dulunya beroperasi di pinggiran, di luar kendali rezim Assad, justru menjadi pilar utama. Kondisi ini menunjukkan betapa rapuhnya ekonomi yang selama puluhan tahun hanya bertumpu pada elit sempit.
Ke depan, Suriah ditantang untuk membangun sistem ekonomi yang lebih transparan dan kompetitif. Pemerintahan baru tidak bisa terus mengandalkan kelangsungan perusahaan yang ada, tetapi harus membuka ruang bagi investasi baru dan pembangunan industri dalam negeri.
Meski jalan panjang masih terbentang, setidaknya Suriah berhasil menunjukkan bahwa negara ini bisa bertahan setelah era Assad. Kuncinya ada pada keberanian untuk meninggalkan model ekonomi lama dan mengintegrasikan kekuatan baru yang tumbuh dari bawah.
Dengan begitu, harapan akan lahirnya ekonomi Suriah yang lebih inklusif, mandiri, dan bebas dari monopoli keluarga maupun kelompok tertentu mulai terbuka. Meski belum sepenuhnya stabil, fondasi untuk kebangkitan baru kini telah diletakkan.